Thursday, September 5, 2024

Crime Imitation oleh Tokoh Renata dalam Film Sehidup Semati: Kekerasan yang Berujung Maut

Pada tahun 2021 lalu, diberitakan seorang pria di Cisauk, yang membakar mantannya karena terinspirasi film kriminal. Aksi seperti ini dikenal dengan istilah Crime Imitation atau Peniruan Kriminal. Kejahatan yang terjadi dengan modus meniru apa yang disaksikan atau dilihat, baik dari tontonan film atau televisi, bahkan kejadian nyata sehari-hari. Proses meniru sebenarnya adalah tindakan wajar yang dilakukan oleh manusia. Sejak kecil kita belajar dengan meniru apa yang dilakukan oleh makhluk hidup sekitar kita. Namun yang menjadi perkara adalah jika yang dilihat adalah tontonan kekerasan, karena hal ini berpotensi mendorong tindakan kejahatan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Huesmann, tontonan kekerasan pada anak usia 8 tahun, mendorong aksi kriminalitas pada usia 30 tahun.

Lewat film Sehidup Semati (2024), garapan Upi, kita melihat bagaimana Renata (Laura Basuki) dari seorang saksi, menjadi korban kekerasan, dan menjadi pelaku kejahatan. Renata ditunjukkan begitu lekat dengan televisi dan suguhan tontonannya, yaitu ceramah agama dan sinetron.  Bahkan ia di beberapa scene tampak begitu hafal dengan dialog sinetron yang ia tonton. Pada kondisi mental yang labil, tontonan ini berpotensi menjadi doktrinisasi modern. Hingga akhirnya Renata menciptakan sosok alter ego, Asmara (Asmara Abigail) untuk mengeksekusi pesan dari ibunya yang mengatakan seorang istri harus menjaga apa yang dipersatukan oleh Tuhan: pernikahannya. Serta keseluruhan tindakan eksekusi yang ia lakukan didasarkan pada apa yang ditampilkan oleh tontonan yang ia konsumsi.

 

Meniru Kejahatan

Layaknya film dengan tema kekerasan, pada film Sehidup Semati, suguhan adegan kekerasan disajikan, namun tidak secara brutal. Dari beberapa scene, luka lebam dan sorot mata ketakutan pada korban, kita dapat mengetahui kekerasan fisik dan verbal diberikan melebihi batasan mental yang dapat ditanggung. Jika ibu dari Renata memilih untuk memberikan racun pada suaminya guna mengakhiri kekerasan, Renata memilih untuk mengakhiri hidup dari Edwin dan selingkuhannya, dengan tujuan rumah tangganya tidak berakhir dengan perceraian.

Bergenre thriller dan horror, Sehidup Semati juga memberikan plot twist yang dijelaskan pada bagian ending. Dengan menggunakan Red Herring Falacy, penonton awalnya tidak akan menyangka Renata memiliki alter ego, dan bahkan seperti pada film Black Swan (2010), Renata diakhir film tidak lagi membutuhkan alter ego tersebut. Ia berdialog dengan Asmara yang hanya diam, saat Renata mengklaim dirinya menjadi sosok yang ia inginkan. Sambil menonton sinetron yang akhirnya menjelaskan darimana Renata mengadaptasi adegan saat ia mengeksekusi Edwin dan Ana (Chantiq Schagerl), Renata berdandan dan berpakaian seperti Asmara.

Alur cerita dalam film ini juga tidak memiliki batasan yang jelas, namun dengan memperhatikan tanda-tanda seperti sikat gigi yang tertukar posisinya, atau cermin kamar mandi yang retak, dan nuansa biru yang pekat, kita sedang melihat Renata mundur ke peristiwa-peristiwa bagaimana segala sesuatu akhirnya terjadi. Penyorotan gambar wanita kembar yang berada di ruang tamu, menjadi pertanda pecahnya kepribadian dari Renata, karena setelahnya kita akan melihat munculnya Asmara, sosok wanita alter ego. Wajar jika Upi, yang juga menulis skenario dari film ini, tidak memberikan batasan waktu yang jelas, karena pada orang dengan trauma akibat kekerasan, mereka memiliki ingatan yang tumpang tindih. Bahkan saat munculnya pribadi lain akibat tekanan mental bertubi-tubi, biasanya batasan antara kenyataan dan khayalan pun menjadi bias.

Untuk menambah mencekamnya suasana dan kesan horor pada film ini, banyak scene liminal space yang diambil dengan wide shot. Bahkan beberapa kali Renata juga disorot dalam kondisi demikian. Selain itu, penggunaan high angle saat Renata beradegan, juga menegaskan bahwa korban kekerasan selalu dalam kondisi lemah dan tidak berdaya.

Tontonan Renata yang berulang-ulang dan menemaninya dalam kondisi yang sedang mengalami trauma, ternyata menjadi suatu dorongan baginya untuk bertindak, mencapai apa yang ia butuhkan sebagai keselamatannya. Renata menyerap dan mengadaptasi tontonannya, serta berlaku seperti demikian, sebagai upaya melarikan diri dari hal-hal buruk yang ia alami dalam rumah tangganya. Dialog pemeran sinetron ataupun ceramah dari tokoh agama, menjadi landasan setiap scene yang berlangsung.

 

Kekerasan dan Para Korbannya

Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada tahun 2024, terdapat 17.141 kasus, dengan korban perempuan sebanyak 14.872 kasus. Oleh sebab itu, tepat rasanya Upi memasukkan ceramah agama yang sangat provokatif merendahkan wanita, dimana pria diposisikan sebagai ciptaan sempurna, yang mendapatkan godaan setan melalui wanita, dan memiliki kuasa penuh atas wanita. Film ini seakan memberikan gambaran bagaimana agama yang seharusnya mengajarkan kebaikan, justru menjadi budaya yang mengajarkan pelecehan terhadap wanita. Tontonan televisi yang dikonsumsi Renata pun didominasi dengan cerita perselingkuhan, sebagai gambaran bagaimana kondisi nyata di masyarakat kita yang makin marak dengan kisah perselingkuhan mulai dari artis, hingga rakyat biasa.

Seperti pada film Like & Share, dimana masyarakat justru menyerang korban kekerasan dan pelecehan, terutama jika korban adalah wanita dan menyalahkan kekerasan terjadi akibat tindakan si wanita, tanpa menyudutkan pelaku, Renata yang niatnya mengadu pada keluarga, juga malah mendapat ceramah untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Dengan alasan karena kekerasan yang ia alami adalah akibat ketidakpatuhannya pada suami. Tekanan ini rasanya menjadi lumrah diberikan pada korban kekerasan. Korban yang seharusnya mendapatkan perlindungan, justru diberikan tekanan tambahan dan penghakiman oleh keluarga dan masyarakat. Padahal dalam film 27 Steps of May, jelas disajikan bagaimana efek kekerasan yang diterima sangat mempengaruhi mental dari korban dan dibutuhkan waktu yang lama untuk dapat pulih dan kembali fungsional di Masyarakat.

Kisah Renata mirip dengan yang dialami oleh Arthur dalam Joker (2019). Keduanya mengalami kekerasan yang mempengaruhi kestabilan mental mereka, membuat mereka berdelusi, dan akhirnya membalaskan rasa sakit yang mereka alami pada orang yang menyebabkan rasa sakit tersebut. Tindakan yang memang tidak diharapkan untuk dilakukan, namun akibat minimnya support system pada korban kekerasan, maka tindakan ini menjadi cara bagi mereka untuk bertahan hidup kembali. Film Sehidup Semati mempertanyakan apa yang masyarakat dapat lakukan jika orang di sekelilingnya mengalami tindakan kekerasan? Atau apakah korban harus membela dirinya sendiri dengan melakukan tindakan kriminal lainnya? 

Thursday, August 31, 2023

Ave Maryam dan Homo Volens dalam Ekosistem Agama

 

Sebagai masyarakat yang plural agama dan budaya, pemutaran film Ave Maryam masih saja menimbulkan kontroversi. Isu seksual dan cinta yang diangkat, dianggap tabu jika disandingkan dengan norma agama. Apalagi subjek seksualitas dalam film tersebut adalah seorang suster, perempuan dan abdi Tuhan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa seorang suster mengucapkan tiga kaul yang membuktikan komitmen mereka dalam mengabdi. Kaul kemurnian, membuat mereka tidak menikah; Kaul ketaatan, dimana seorang suster harus siap melayani dimanapun dan kapanpun; Kaul kemiskinan, yang ditunjukkan dengan mengenakan pakaian yang disediakan oleh gereja dan hidup dalam kesederhanaan, setiap harinya. Ketiga kaul tersebut dilanggar oleh Maryam, tokoh protagonis dalam film Ave Maryam.

Sejak awal film, penonton sudah disajikan dengan sebuah adegan yang menjelaskan apa yang sedang dan akan dihadapi oleh Maryam. Bukan sekedar masalah perzinaan yang ia lakukan, namun juga metamorfosisnya sebagai makhluk biologis dan makhluk sosial. Maryam menatap lautan melalui jendela tanpa kusen dan seekor kupu-kupu menghampirinya. Adegan ini ingin menceritakan bagaimana selama ia hidup, Maryam menatap dunia dalam satu perspektif terbatas, yaitu agama. Hingga akhirnya terjadi perubahan dalam kepribadiannya, yang mengubah perilakunya dan dilambangkan oleh kupu-kupu.

Suatu ketidakwajaran dalam ekosistem agama, bagi seorang suster menyukai referensi bacaan dengan tema perselingkuhan dan seksualitas yang eksplisit: Madame Bovary dan Lady Chatterley’s Lover. Kedua novel tersebut diperlihatkan dengan gamblang diawal dan diakhir film. Berdasarkan psikoanalisis dari Sigmund Freud mengenai Homo Volens, manusia berkeinginan, Maryam sebagai makhluk hidup yang masih berada pada usia produktif, 40 tahun, memupuk dorongan biologis dari bacaan kesukaannya.  Lalu godaan yang secara aktif dilancarkan oleh Romo Yosef, seorang pastor yang datang ke kesusteran dimana Maryam berada, membuat Maryam memasuki subsistem kepribadian ego. Ia menimbang membiarkan dorongan biologis yang selama ini terpendam, untuk memiliki akses disalurkan atau tetap menahan keinginannya, karena menyadari statusnya di masyarakat.

Jika tidak ada tokoh Romo Yosef, Maryam sebenarnya akan tetap dalam kondisi prakontemplasi, salah satu tahapan dari model perubahan perilaku yang dicetuskan oleh Prochaska dan Di-Clemente. Terlihat pada film ia menjalani tugasnya sehari-hari dengan baik, yaitu menolong para suster yang sudah lansia untuk menjalani kehidupan mereka. Hingga ia akhirnya merasakan adanya perubahan dalam dirinya sejak Romo tersebut datang. Maryam menjadi suka memperhatikan Romo Yosef melatih paduan suara dan orkestra. Namun walaupun demikian ajakan-ajakan Romo Yosef diawal-awal untuk keluar bersama, ia masih tolak. Ia menyadari adanya perubahan dalam dirinya, tapi sadar dan tidak berkeinginan untuk mengalami perubahan tersebut. Namun akhirnya ia luluh dan menerima ajakan, serta menjadi sering keluar bersama Romo Yosef. Maryam memilih menggunakan baju biasa dan bukan lagi baju kesusterannya pada saat ia keluar bersama Romo Yosef, yang sebenarnya ini melanggar kaul yang ia ujarkan. Mulai melakukan perubahan-perubahan kecil, Maryam memasuki tahapan persiapan dalam perubahan perilakunya.

Pada ulang tahun Maryam yang ke-40, mereka berdua keluar bersama menuju pantai dan akhirnya melakukan hubungan intim. Maryam berada dalam tahapan aksi pada kondisi ini. Suatu ahapan klimaks dari perubahan perilaku seorang individu. Pulang kembali ke kesusteran, Maryam bergumul dan sedih dengan apa yang sudah ia lakukan. Setelah berlalu beberapa hari, Maryam bermimpi menatap lautan kembali, tapi kali ini tanpa jendela lagi, dan dengan kondisi dirinya yang telanjang. Ia terbangun dan menyadari apa yang ia lakukan sudah melanggar kaulnya pada Tuhan.  Maryam akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kesusteran, yang menyiratkan ia memilih untuk kembali kepada dirinya yang semula dan menyesali perubahan yang ia lakukan. Namun demikian, Maryam yang dulu dan yang kini, tidak lagi sama. Ia sudah bermetamorfosis menjadi Maryam yang berbeda.

Dalam film Ave Maryam ini, dialog yang ada benar-benar hemat, namun kondisi setting dan gerak tubuh dari pemain, menjelaskan lebih dari dialog itu sendiri. Sekalinya pemain berdialog, rasanya seperti menegaskan apa yang sudah dirasakan penonton dalam menatap adegan yang sedang berlangsung.

Beberapa kali juga adegan diambil dengan latar makam. Suster Moniq yang baru datang kembali ke kesusteran, sambil mendengarkan lagu, ia menatap ke arah makam. Lalu saat Maryam yang duduk dan menatap makam, Romo Yosep mendatangainya. Serta adegan saat suster Moniq menegur secara tersirat tentang nafsu yang dimiliki oleh Romo Yosep terhadap Maryam pun dilakukan di makam. Bagaimana film ini sebenarnya ingin mengingatkan, kalau manusia tidak akan luput dari kematian. Apapun yang dilakukan pasti akan berakhir dengan kematian, tapi apa yang akan terjadi sebelum kematian datang, manusia memiliki kendali atasnya. Dibekali dengan otak, manusia dapat memilih untuk menjadi apa sepanjang ia hidup.

Perubahan perilaku sebenarnya adalah hal yang wajar dialami oleh seorang individu. Hanya saja, manusia yang mencipatkan begitu banyak jenis norma ataupun aturan, membuat perubahan itu bisa menjadi bernilai negatif. Jika hanya dilihat dari kondisi biologis, Maryam mengalami hal yang sangat wajar. Dorongan untuk berkembang biak karena ia adalah makhluk hidup yang masih aktif sistem endokrinnya, sangat mungkin merasakan ketertarikan dengan lawan jenis. Apalagi bacaan yang ia baca selama ini, hanya menjadi stimulus yang tidak dapat diwujudkan. Pasti ada keinginan biologis yang tertahan. Namun ajaran agama dan tinggal dalam ekosistem agama, membatasi bagaimana Maryam harus bertindak dan berperilaku. Menjadikan apa yang dialami oleh Maryam adalah salah, bahkan merupakan dosa. Apalagi identitasnya sebagai suster yang secara sadar sudah berkomitmen untuk tidak menikah dan tetap setiap pada pelayanannya, memperburuk nilai perubahan yang ia lakukan

Menjadi pertanyaaan hingga saya menulis ini, mengapa film Ave Maryam berani mengangkat isu yang sebenarnya banyak terjadi, tapi tabu untuk diperbincangkan? Apakah sekedar hanya menyampaikan kondisi atau pengalaman seseorang saja, karena memang diakhir film ada kredit kalau film ini berdasarkan kisah nyata. Atau ada tujuan lain? Seperti mengajak penonton untuk mewajarkan apa yang terjadi pada Maryam misalnya. Hal ini tersirat dari salah satu dialog yang mengatakan untuk menyembunyikan ibadah yang kita miliki, seperti kita menyembunyikan dosa-dosa kita. Bagaimana seharusnya hubungan spiritual bukanlah untuk ajang pertunjukan, tapi menjadi keintiman dari manusia dengan Tuhan yang ia yakini. Toh tidak ada satupun manusia hingga saat ini, yang mampu mengetahui apa yang Tuhan pikirkan dan rasakan. Manusia hanya mencoba menerka-nerka cara berpikir Tuhan dengan membuat banyak aturan dalam agama untuk menyenangkan Tuhan.

Film Ave Maryam memang tidak menyajikan konflik yang dapat membuat adrenalin penonton naik-turun. Tapi apa yang disajikan seperti gelitikan pada cara manusia berpikir. Mengundang penonton untuk berkaca dan melihat dirinya sendiri, apakah memiliki pengalaman serupa, saat melakukan sesuatu yang menjadi tidak wajar dalam masyarakat karena terbentur dengan norma agama ataupun norma lainnya, yang pada akhirnya membuat kita mengurungkan keinginan kita karena malas dan lelah jika harus dihakimi oleh sekitar kita.

Maryam menjadi perwakilan bagi siapa saja yang sedang bergumul antara dirinya dan statusnya di masyarakat, yang sering kali akhirnya mengaburkan Homo Volens-nya karena merasa bersalah jika mengedepankannya, dibandingkan dengan norma-norma yang ditanamkan sedari kecil. Padahal secara psikologi dan biologi, kita memiliki sistem yang ditanam secara langsung oleh Sang Pencipta, yang sebenarnya mampu menentukan batasan yang baik untuk dilakukan dan tidak dilakukan, tanpa mengabaikan kebutuhan tubuh secara alami. Ave Maryam menjadi kesaksian dan bukan sekedar film yang menghibur dan memuaskan mata dengan tone yang indah. Film ini pun menjadi pernyataan yang ditawarkan pada masyarakat kita yang mengaku mampu bertoleransi, namun sering kali gagal dalam aksi. Satu pertanyaan terakhir, apakah kita siap mewajarkan apa yang Maryam alami dan menerimanya sebagai hal pribadi bagi Maryam, yang tidak seharusnya dihakimi?

Saturday, December 21, 2019

Luka

Seberapa mudah kita terkadang mengucapakan, "Saya terluka!"? Beberapa dari kalian mungkin baru saja mengalami sesuatu yang menyebabkan kalian terluka. Entah itu luka fisik atau batin. Nampaknya seakan Tuhan membiarkan manusia merasakan luka dan sering kali datang secara bertubi-tubi.

Mudah bagi kita yang sedang dalam kondisi aman untuk mengatakan pada mereka yang sedang terluka, untuk sabar dan tawakal. Namun bagi mereka yang sedang terluka, untuk mengumpulkan kesadaran saja rasanya begitu susah.

Rasa empati yang makin berkurang pada jaman ini menyebabkan kita lebih sering berbagi dengan dunia maya akan segala luka kita, ketimbang membaginya dengan makhluk hidup lainnya. 

Atau mungkin rasa penolakan saat hendak berbagi, menjadikan menyimpan luka sendiri lebih baik daripada membaginya. Mudahnya, lebih baik susah sendiri daripada susah karena bercerita.

Belakangan ini saya pun terluka. Orang terdekat terkadang tanpa sadar melakukan dan mengatakan sesuatu yang sepele, tapi pada kondisi yang tidak tepat, sehingga menorehkan luka. Saya mulai bercerita dari satu sahabat ke sahabat lainnya, demi mendapatkan rasa nyaman dan pengakuan kalau saya sedang terluka. Anehnya, saya tetap tidak dapat meredam rasa kesal dan emosi yang diakibatkannya.
Sampai akhirnya saya belajar untuk berdiam dan melepaskan. Seketika itu juga luka itu tidak lagi menjadi hal utama dalam hidup saya, walaupun kenangannya masih saya dapat ingat.

Apakah saya sudah berdamai dengan si pemberi luka?
TIDAK! Saya hanya berdamai dengan diri saya sendiri. Dan itu memberi dampak yang besar. Mungkin suatu saat nanti, ada kesempatan yang alam berikan bagi kami untuk bertemu dan saling berdamai. Tapi untuk saat ini, luka tersebut dapat diredam hanya dengan berdamai dengan diri saya sendiri.

Bagi kalian yang saat ini sedang terluka atau menyimpan luka dalam. Entah pada sesama, keluarga, pacar, sahabat, atau bahkan pada Tuhan, lembutkan hati kita dan terima luka tersebut. Bukan kewajiban mereka untuk menyediakan kebahagiaan bagi kita. Tapi tugas kita untuk menyayangi dan menyintai diri kita sendiri.

Salam cinta dariku bagi kalian semua.

Thursday, December 5, 2019

NOBODY


Beberapa minggu ini saya terpengaruh oleh lagu dari Mitski yang berjudul ‘Nobody”. Lagunya cukup eksentrik dengan lirik pada refrain lagu hanya nobody.  Entah karena hidup saya yang lagi kacau balau dan hancur parah, tapi mendengar kata nobody berulang kali, membuat saya merasa memang saya tidak memiliki siapapun lagi.

Pernah engga kalian berpikir kenapa kalian ada di dunia ini? Untuk apa atau karena apa?. Bertanya hal yang sama selama bertahun-tahun, dan tetap juga tidak menemukan jawabannya? Saya memiliki agama, tapi jujur saja saya tidak terlalu tertarik dengan agama. Jadi, saat saya berdiskusi tentang arti hidup dengan teman saya yang beragama, mereka selalu mengaitkannya dengan Tuhan dan kasihnya. Klise-tapi selalu sama jawabannya.

Atau ketika saya bertanya dengan teman saya yang tak memiliki agama, jawabannya selalu dikaitkan dengan memiliki arti bagi sesama. Ini lebih berat lagi buat saya. Memiliki arti bagi orang lain yang belum tentu saya memiliki nilai bagi orang tersebut.  Apa standarnya coba???? Lalu kembali lagi kepada lagu dari Mitski, sepanjang lagu dia berusaha mencari tahu fungsinya dalam sosial dan bagi dirinya sendiri, dan jawaban yang ia temukan adalah ‘nobody, but you’.

Egois memang jika saya hanya menempatkan diri saya diatas segalanya. Tapi kenyataannya, hanya diri sendiri yang paling mengerti dan mampu menolong. Dulu saya percaya akan konsep keluarga akan selalu ada di sebelahmu. Atau sahabat akan selalu menolongmu. Pada praktiknya, saya menjalani segalanya sendiri. Tidak merasa sakit hati saat saya hanya menemukan diri saya sendirian di tengah badai. Kebiasaan menjadikan saya melihatnya sebagai hal lumrah. Dan tanpa sadar, saya menikmatinya sekarang.

Tapi belakangan ini pikiran sedang kalut, sekalutnya. Usia bertambah seiring bertambahnya pikiran. Pantas saja ibu saya cepat mati, dia seorang pemikir, bahkan saat tidak ada masalah, dia berpikir lebih banyak dari orang pada umumnya. Bayangkan saat masalah datang, dia akan menyambutnya dan berdiskusi dengan asik lebih lama dari biasanya. Mungkin ini salah satu warisan darinya yang saya tidak dapat tolak. Dan semakin menjadi beberapa tahun belakangan ini. Kadang saya lelah berpikir tentang arti bahagia, kematian, dan hidup itu sendiri. Tapi saat saya tidak memikirkannya, ada yang hilang dari saya. Seakan kehilangan jiwa dan hasrat. Lucu? Tapi saya menyintai rumitnya pikiran ini. Semakin rumit, semakin saya terangsang untuk hidup.

Untuk kalian yang sedang membaca ini dan sedang merasa hal yang sama, yakinlah kalau kalian memang sendirian. Tapi bukan berarti kalian harus hancur dalam kesendirian kalian. Kalian masih bisa mengajak pikiran kalian tenggalam ke alam bawah sadarnya dan sejenak berlari dari kenyataan kepada khayalan. Berkhayal dan bermimpi segala sesuatu berjalan dengan cara dan konsep yang kalian inginkan. Lupakan jika ada aturan dan belenggu kenyataan yang memaksa kalian buat menahan rasa sakit dan tetap tersenyum. Sejenak, tapi ampuh buat bertahan selama nyawa masih ada di dalam tubuh. Kecuali kalian ingin menjajaki jalan pintas?

Sunday, February 5, 2017

Wiji Thukul; hormatku padamu, Pak!

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak  kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang! -  Wiji Thukul

Aku tak mengenalnya; Wiji Thukul.
Beberapa minggu lalu, seorang sahabat mengenalkan namanya padaku. Pertanyaan pertamaku adalah siapa dia? Tak terpikir akan pernah mengetahui nama Wiji Thukul dalam hidupku. Aku benar menjadi salah satu saksi mata saat jatuhnya rezim ‘bangsat’, mengutip perkataan beliau dalam film ‘Istirahatlah Kata-kata’. Tapi saat itu,aku tidak mengerti seperti apakah arti kebebasan saat rezim itu hancur.

Bertahun-tahun kemudian aku baru memahami apa yang dirasakan oleh saudara-saudaraku yang berhadapan langsung dengan penekanan kebebasan sebagai warga Indonesia. Baru aku menyadari bagaimana dipenjara di tanah air sendiri. Jangankan mampu mewujudkan mimpi, sekedar berkata-kata pun susah rasanya. Begitu juga yang dialami oleh Wiji Thukul. Dia hanya seorang penyair yang mencoba mencari arti hidup melalui puisi itu sendiri. Yang terlahir dengan kemampuan mengolah kata sebagai caranya berkomunikasi. Salahkah ia? Salahkan Tuhan jika kau menganggap bahwa berpuisi itu salah. Bahkan Tuhan lebih dari seorang penyair. Karena Ia mampu menciptakan jutaan penyair yang berbicara lewat tulisan mereka.

Aku tidak berniat untuk meresensi atau membedah film ‘Istirahatlah Kata-kata’. Aku hanya hanya ingin berbagi semangat dan pengalaman spiritual jiwa yang aku alami selama dan setelah aku menonton film tersebut.

Ada semacam kecemasan yang aku rasakan selama menonton film tersebut. Membayangkan bagaimana jika aku menjadi seorang buronan, hanya karena aku merindukan kebebasan beraspirasi. Terpisah beberapa waktu dari keluarga yang disayangi dan hidup berpindah dari satu tempat, ke tempat lain dengan ketakutan setiap kali orang menanyakan identitasku. Rasa cemas yang sarat terasa saat Wiji Thukul berada di tukang potong rambut dan diajak bicara oleh seorang tentara. Apalagi mendengar bagaimana si tentara mengatakan penangkapan para gelandangan adalah usaha untuk membuat warga takut pada hukum, terlebih takut terhadap tentara. Emosiku begitu campur aduk. Rasa takutnya menjadi bagianku seketika.

Diakhir cerita, diinformasikan bagaimana Wiji Thukul tak merasakan keyakinannya terwujud. Sebulan sebelum jatuhnya rezim tersebut, ia menghilang hingga saat ini. Dan aku tak mampu berkata apapun saat itu, selain meneteskan air mata. Tidak bermaksud ‘lebay’, tapi jiwaku benar-benar menangis. Bahkan hingga aku menulis tulisan ini, aku masih meneteskan air mata. Karena apa yang dialami oleh Wiji Thukul, masih dialami oleh semua generasi penerusnya. Hanya bentuk kasat mata saja yang hancur. Tapi prinsip kerjanya masih terus mengakar di dalam komunitas masyarakat kita.

Pernahkah kalian yang sedang membaca tulisan ini merasa takut dengan bos kalian? Atau dengan sistem? Bahkan pernahkah kalian ketakutan saat kalian berhadapan dengan aparat negara? Saat seorang petinggi lewat di depan kalian, tanpa sadar kalian menundukkan kepala? Atau mobil petinggi lain lewat saat kalian juga berada di jalan, dan kalian langsung menepi memberikan jalan?
Kekuasaan dan jabatan tetap menjadi hal yang kita takuti. Walaupun tertindas, kita akan memilih untuk tidak mengeluarkan kata-kata. Entah dengan alasan apapun, kita membenarkan kebungkaman kita. Karena toh sampai saat ini, yang terlalu banyak bicara akan diam untuk selamanya. Aku juga menjadi bagian dari kalian. Aku memilih bersuara akan apa yang kupikirkan, namun sesaat kemudian aku memilih diam daripada aku didiamkan. Aku menjadi buronan dalam dunia ketakutanku. Aku berlari dari buah pikiranku.

Bahkan konsep ber-Tuhan pun demikian diajarkan dari kita kecil, “Jangan nakal, nanti masuk neraka”. Tuhan pun dijadikan oknum yang menakutkan. Dari masih remaja, kita takut akan Tuhan, bukan menyintai dan menghormati-Nya. Tak heran jika kita tumbuh menjadi penakut di depan yang kita anggap lebih besar dan berkuasa.


Di dalam film tersebut juga, berkali-kali digambarkan Wiji Thukul dan Sipon makan bersama. Kegiatan tersebut menggambarkan apa yang pernah Wiji Thukul sampaikan, “Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tai.” Kebebasan yang hakiki antara dirinya dan istri tercinta hanyalah sesaat, karena ia akhirnya memutuskan kembali ke arena perang,  melawan penindasan dan kebungkaman. Istirahat kata-katanya telah usai dan ia kembali berkata-kata. Maknanya begitu besar untuk menamparku. Apakah aku akan terus memilih bungkam dengan apa yang aku rasa tidak benar? Apakah aku akan terus ketakutan dengan sesuatu yang besar di hadapanku? Apakah aku akan menjadi buronan dalam pikiranku sendiri? Atau aku akan kembali berperang, walaupun hanya kenyakinan yang akan menemaniku hingga kematian mengistirahatkan sendiri kata-kataku?

Thursday, November 24, 2016

Aman

Lord, guide me!

Pada waktunya, segala sesuatu akan terbuka dan terpajang. Aku menyakininya sebagai kebenaran. Bertahun-tahun aku hidup dan melihat berbagai rupa manusia. Terkadang ia berusaha menebalkan temboknya dan menutupi segala sesuatu yang ada di dalam dirinya. Atau, ia meruntuhkan tirainya dan menghadapkan dirinya kepada khalayak umum. Aku tertawa jika hal-hal ini terjadi dengan nyatanya di depan biji mataku. Namun, setelahnya aku akan mengangis karena aku juga bagian dari mereka.

Hidup mengajarkan tiap insani untuk membuat perlindungan. Rasa sakit, kecewa, dan perasaan ditipu yang terjadi terus-menerus, membentuk insani tersebut. Aku tidak hanya mengatakannya tentang manusia. Demikian juga, tumbuhan. Mereka dilengkapi dengan segala sistem perlindungan diri, karena hidup itu keras dan susah. Beberapa memiliki duri dan yang lainnya memiliki racun. Namun, ada kalanya insani merasa lelah dan menunjukkan siapa ia sebenarnya. Ini juga sebenarnya merupakan usaha akhirnya dalam melindungi diri.

Aku melihatnya terjadi pada diriku. Beberapa rahasia kututupi dengan sejuta kata-kata indah dan senyuman, hanya untuk mengelabui sekitar. Beberapa aku buka, karena hanya demikian aku bisa memiliki kesempatan untuk mendapatkan kehadiran dari sekitar. Terkadang, keberadaan insani lain menjadi rasa aman yang kucari. Terkadang tontonan di bioskop, atau terkadang makanan lezat dalam pengecapan manusia. Mungkin berbeda dengan dirimu yang sedang membaca ini. Aku tidak tahu dengan apa biasanya engkau mencari rasa aman itu. Tapi yang pasti, tiap insani, pasti memiliki barang satu saja, jika tidak mungkin dua.

Aku tidak pernah menyalahkan mereka yang melakukannya terhadapku. Membentuk perlindungan atau membuang kepalsuan mereka dan menunjukkannya kepadaku. Yah, walau artinya selama ini mereka berbohong kepadaku. Karena toh, aku juga demikian. Aku menerima apa yang mereka lakukan, tapi terkadang karena kemanusiaanku, aku sakit hati dan memilih untuk tidak melihat mereka lagi dalam sisa aku bernapas. Dan mungkin juga demikian mereka yang pergi meninggalkan aku. Entah mereka tersakiti atau kecewa hingga meradang hati. Yah, beginilah hidup. Alirannya selalu sama, tapi airnya tidak pernah sama.

Hanya saja, ada beberapa hal yang kujaga untuk tidak aku lakukan terhadap orang sekitarku. Aku selalu berusaha untuk tidak menjadikan kelemahan terbesar mereka sebagai perlindunganku. Agak bajingan saja rasanya menjadi batu di atas lumpur. Toh, karena beratnya, bukankah suatu saat batu tersebut akan tertutup lumpur? Aku juga selalu berusaha menjaga apa yang kuucapkan adalah apa yang kulakukan. Ini memang susah. Tidak juga aku berhasil seratus persen, tapi tidak juga aku gagal seratus persen. Dan yang terakhir, aku selalu berusaha untuk tidak memandang kejatuhan seseorang adalah kesempatan menilai hidupku baik dan nyaman. Biasanya hal terakhir inilah masa yang paling tepat membuat seseorang membuka tirai yang menutupinya. Menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Siapa tidak senang dengan perasaan aman? Apalagi saat bisa melihat keamanan itu tidak dimiliki yang lain. Tentu hebat menjadi berbeda. Sadar atau tidak, kamu yang membaca ini, pasti pernah melakukannya. Sedih melihat teman mendapat nilai jelek, tapi marah saat kau mendapat nilai lebih jelek darinya.

Hidup memang keras dan susah. Membuat insani memiliki tujuan berbeda dengan saat ia dilahirkan dan menjadikannya juga berbeda dari keadaan ia seharusnya. Tapi, seberapa besarpun hal yang kita alami dan seberapa besarpun usaha kita untuk melindungi diri, ada baiknya kita tetap melihat sekitar dan tidak menyakiti mereka. Karena mereka adalah rasa aman terbesar yang kita miliki untuk bertahan hidup.


Wednesday, October 26, 2016

‘asik’




Hamba seorang sudra
Hidup dengan menjalin udara
Ditengah arahan Sutradara
Dan para pelakon sandiwara
Hamba bermaksud menyelisik dan sedikit menggelitik
Karena terusik akan hidup yang katanya ‘asik’
Banyak hal pelik, hingga mata mendelik
Semoga ini pekik membuat kita menjadi klik



1.       Ada pelakon pandai berlakon
Tergoda ia pada melik
Segala hal dibuat ‘asik’
Padahal, banyak yang menjerit
Eh, siapa itu yang menjerit?
Pasti dia tidak ‘asik’
Hidup selalu di burit
Tiap hari hanya tahu mengerit



2.   Ada pelakon sedang berlakon
Sebentar-bentar merasa terusik
Merasa diri paling ‘asik’
Padahal hidup karena sensasi
Di sana mencicit, di sini mencicit
Menyebar kicau
Menciptakan pering
Tapi siapa ambil peduli?
Nyata benar! Sebagian memberi aksi
Karena merasa budak teknologi
Maka harus selalu mengunjuk gigi
Tapi yang lain?
Diam tak beraksi
Menelan cicit di dalam sepi
Toh, tidak berbeli
Hanya bermodal layar televisi




3.       Ada pelakon tak sadar berlakon
Merasa ‘asik’ dengan Sutradara
Mengambil alih arahan
Menjadikan naskah sebagai gurauan
Membuat jiwa menangis karena menggalau
Tapi, mengapa mereka menggalau?
Karena haluan selalu mengigau
Makin banyak insan meracau
Lalu ini salah siapa?
Salah Sutradara?
Salah pelakon sandiwara?
Atau salah tiap jiwa dalam menghadapi masa?
Membuat tiap zaman semakin pelik?




Semoga pemirsa sudah merasa klik
Mengatur pikir menjadi ‘asik’
Kembali pada naskah
Kembali pada arahan Sutradara
Berdiri sesisi mencapai isi
Merangkai masa menjadi penuh asih