Pada
tahun 2021 lalu, diberitakan seorang pria di Cisauk, yang membakar mantannya
karena terinspirasi film kriminal. Aksi seperti ini dikenal dengan istilah Crime
Imitation atau Peniruan Kriminal. Kejahatan yang terjadi dengan modus
meniru apa yang disaksikan atau dilihat, baik dari tontonan film atau televisi,
bahkan kejadian nyata sehari-hari. Proses meniru sebenarnya adalah tindakan
wajar yang dilakukan oleh manusia. Sejak kecil kita belajar dengan meniru apa
yang dilakukan oleh makhluk hidup sekitar kita. Namun yang menjadi perkara
adalah jika yang dilihat adalah tontonan kekerasan, karena hal ini berpotensi
mendorong tindakan kejahatan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Huesmann,
tontonan kekerasan pada anak usia 8 tahun, mendorong aksi kriminalitas pada usia
30 tahun.
Lewat
film Sehidup Semati (2024), garapan Upi, kita melihat bagaimana Renata
(Laura Basuki) dari seorang saksi, menjadi korban kekerasan, dan menjadi pelaku
kejahatan. Renata ditunjukkan begitu lekat dengan televisi dan suguhan tontonannya,
yaitu ceramah agama dan sinetron. Bahkan
ia di beberapa scene tampak begitu hafal dengan dialog sinetron yang ia tonton.
Pada kondisi mental yang labil, tontonan ini berpotensi menjadi doktrinisasi
modern. Hingga akhirnya Renata menciptakan sosok alter ego, Asmara (Asmara
Abigail) untuk mengeksekusi pesan dari ibunya yang mengatakan seorang istri
harus menjaga apa yang dipersatukan oleh Tuhan: pernikahannya. Serta keseluruhan
tindakan eksekusi yang ia lakukan didasarkan pada apa yang ditampilkan oleh tontonan
yang ia konsumsi.
Meniru
Kejahatan
Layaknya
film dengan tema kekerasan, pada film Sehidup Semati, suguhan adegan kekerasan
disajikan, namun tidak secara brutal. Dari beberapa scene, luka lebam
dan sorot mata ketakutan pada korban, kita dapat mengetahui kekerasan fisik dan
verbal diberikan melebihi batasan mental yang dapat ditanggung. Jika ibu dari
Renata memilih untuk memberikan racun pada suaminya guna mengakhiri kekerasan,
Renata memilih untuk mengakhiri hidup dari Edwin dan selingkuhannya, dengan tujuan
rumah tangganya tidak berakhir dengan perceraian.
Bergenre
thriller dan horror, Sehidup Semati juga memberikan plot
twist yang dijelaskan pada bagian ending. Dengan menggunakan Red
Herring Falacy, penonton awalnya tidak akan menyangka Renata memiliki alter
ego, dan bahkan seperti pada film Black Swan (2010), Renata diakhir film
tidak lagi membutuhkan alter ego tersebut. Ia berdialog dengan Asmara yang
hanya diam, saat Renata mengklaim dirinya menjadi sosok yang ia inginkan. Sambil
menonton sinetron yang akhirnya menjelaskan darimana Renata mengadaptasi adegan
saat ia mengeksekusi Edwin dan Ana (Chantiq Schagerl), Renata berdandan dan berpakaian
seperti Asmara.
Alur
cerita dalam film ini juga tidak memiliki batasan yang jelas, namun dengan
memperhatikan tanda-tanda seperti sikat gigi yang tertukar posisinya, atau cermin
kamar mandi yang retak, dan nuansa biru yang pekat, kita sedang melihat Renata mundur
ke peristiwa-peristiwa bagaimana segala sesuatu akhirnya terjadi. Penyorotan gambar
wanita kembar yang berada di ruang tamu, menjadi pertanda pecahnya kepribadian
dari Renata, karena setelahnya kita akan melihat munculnya Asmara, sosok wanita
alter ego. Wajar jika Upi, yang juga menulis skenario dari film ini, tidak
memberikan batasan waktu yang jelas, karena pada orang dengan trauma akibat
kekerasan, mereka memiliki ingatan yang tumpang tindih. Bahkan saat munculnya
pribadi lain akibat tekanan mental bertubi-tubi, biasanya batasan antara
kenyataan dan khayalan pun menjadi bias.
Untuk
menambah mencekamnya suasana dan kesan horor pada film ini, banyak scene liminal
space yang diambil dengan wide shot. Bahkan beberapa kali Renata
juga disorot dalam kondisi demikian. Selain itu, penggunaan high angle
saat Renata beradegan, juga menegaskan bahwa korban kekerasan selalu dalam
kondisi lemah dan tidak berdaya.
Tontonan
Renata yang berulang-ulang dan menemaninya dalam kondisi yang sedang mengalami trauma,
ternyata menjadi suatu dorongan baginya untuk bertindak, mencapai apa yang ia
butuhkan sebagai keselamatannya. Renata menyerap dan mengadaptasi tontonannya,
serta berlaku seperti demikian, sebagai upaya melarikan diri dari hal-hal buruk
yang ia alami dalam rumah tangganya. Dialog pemeran sinetron ataupun ceramah
dari tokoh agama, menjadi landasan setiap scene yang berlangsung.
Kekerasan
dan Para Korbannya
Berdasarkan
data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada tahun
2024, terdapat 17.141 kasus, dengan korban perempuan sebanyak 14.872 kasus. Oleh
sebab itu, tepat rasanya Upi memasukkan ceramah agama yang sangat provokatif
merendahkan wanita, dimana pria diposisikan sebagai ciptaan sempurna, yang mendapatkan
godaan setan melalui wanita, dan memiliki kuasa penuh atas wanita. Film ini seakan
memberikan gambaran bagaimana agama yang seharusnya mengajarkan kebaikan,
justru menjadi budaya yang mengajarkan pelecehan terhadap wanita. Tontonan televisi
yang dikonsumsi Renata pun didominasi dengan cerita perselingkuhan, sebagai gambaran
bagaimana kondisi nyata di masyarakat kita yang makin marak dengan kisah perselingkuhan
mulai dari artis, hingga rakyat biasa.
Seperti
pada film Like & Share, dimana masyarakat justru menyerang korban
kekerasan dan pelecehan, terutama jika korban adalah wanita dan menyalahkan
kekerasan terjadi akibat tindakan si wanita, tanpa menyudutkan pelaku, Renata
yang niatnya mengadu pada keluarga, juga malah mendapat ceramah untuk
mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Dengan alasan karena kekerasan yang ia
alami adalah akibat ketidakpatuhannya pada suami. Tekanan ini rasanya menjadi
lumrah diberikan pada korban kekerasan. Korban yang seharusnya mendapatkan perlindungan,
justru diberikan tekanan tambahan dan penghakiman oleh keluarga dan masyarakat.
Padahal dalam film 27 Steps of May, jelas disajikan bagaimana efek kekerasan
yang diterima sangat mempengaruhi mental dari korban dan dibutuhkan waktu yang
lama untuk dapat pulih dan kembali fungsional di Masyarakat.
Kisah Renata mirip dengan yang dialami oleh Arthur dalam Joker (2019). Keduanya mengalami kekerasan yang mempengaruhi kestabilan mental mereka, membuat mereka berdelusi, dan akhirnya membalaskan rasa sakit yang mereka alami pada orang yang menyebabkan rasa sakit tersebut. Tindakan yang memang tidak diharapkan untuk dilakukan, namun akibat minimnya support system pada korban kekerasan, maka tindakan ini menjadi cara bagi mereka untuk bertahan hidup kembali. Film Sehidup Semati mempertanyakan apa yang masyarakat dapat lakukan jika orang di sekelilingnya mengalami tindakan kekerasan? Atau apakah korban harus membela dirinya sendiri dengan melakukan tindakan kriminal lainnya?